Powered By Blogger

Senin, 09 Mei 2011

Islam adalah ruh dan tindakan, bukan alat jualan

Negara Islam tidak harus bernama “Negara Islam”, namun negara Islam cukuplah disebut dengan istilah mulia itu jika di dalam mengatur masyarakatnya di dasari oleh nilai-nilai yang islami, dimana amanah rakyat benar-benar diemban oleh para pejabatnya dan bukan malah dikhianati seperti halnya yang terjadi di Indonesia sekarang ini.

Natsir juga menegaskan, terhadap penguasa negara terpilih, umat wajib mengikutinya selama ia benar dalam menjalankan kekuasaannya. Bila menyimpang, umat berhak melakukan koreksi atau mengingkari penguasa negara. Dalam masalah ini, Islam menekankan kewajiban musyawarah tentang hak dan kewajiban antara penguasa dan yang dikuasai. Prinsip musyawarah dalam Islam, menurut Natsir, tidak selalu identik dengan asas demokrasi.

Hal ini terlihat saat Natsir menanggapi pernyataan Soekarno yang menghendaki agar demokrasi dijadikan alternatif bila timbul persoalan tentang berpisahnya agama dan negara. Natsir mengemukakan bahwa Islam anti-istibdad (despotisme), anti-absolutisme, dan kesewenang-wenangan. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan musyawarah Majelis Syura. Dalam parlemen negara Islam, yang hanya boleh dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syariat Islam), tetapi bukan dasar pemerintahannya, karena dasar pemerintahan atau bahkan dasar kehidupan seorang Muslim hanyalah al-Qur’an dan hadits, bukan yang lainnya. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 452).

Natsir mengakui demokrasi itu baik, tetapi sistem kenegaraan Islam tidaklah mengandalkan semua urusannya kepada instrumen demokrasi, sebab demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi, demokrasi juga melekat pada dirinya pelbagai sifat-sifat berbahaya.

Natsir juga menolak adanya pemimpin umat Islam selain Muhammad SAW. “Islam tidak kenal kepada ‘Kepala Agama’ seperti Paus atau Patriarch. Islam hanya mengenal satu ‘Kepala Agama’, ialah Muhammad Rasulullah saw. Beliau sudah wafat dan tidak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. ‘Kepala Agama’ yang bernama Muhammad ini telah meninggalkan satu sistem yang bernama Islam, yang harus dijalankan oleh kaum muslimin, dan harus dipelihara dan dijaga supaya dijalankan ‘kepala-kepala keduniaan’ (bergelar raja, chalifah, presiden, atau lain-lain) yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum muslimin. Sahabat-sahabat Nabi yang pernah memegang kekuasaan negara sesudah Rasulullah saw. seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali tidaklah merangkap jadi ‘Kepala Agama’. Mereka itu hanyalah ‘kepala keduniaan’ yang menjadikan pemerintahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh ‘Kepala Agama’, yaitu oleh Muhammad Rasulullah yang penghabisan itu, lain tidak!” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 470).

Jadi jelas, Islam di mata seorang pejuang dakwah seperti Muhammad Natsir, adalah Islam yang sempurna dan menyeluruh. Sikap seorang Muslim seperti Natsir hanya bisa dicapai jika seorang Muslim itu benar dalam akidahnya, lurus dalam manhajnya, dan amanah dalam memelihara keimanannya.

Jika ada seorang yang mengaku Muslim namun memiliki pendapat jika konsep negara Islam itu kampungan, maka dia telah memperlihatkan kepada sekitarnya jika dia harus banyak belajar lagi dalam hal keislamannya, dalam hal akidah, keimanan, manhaj, dan banyak hal lagi. Adalah celaka jika orang-orang yang belum matang seperti ini menjadi wakil umat. Namun syukurlah, di Indonesia, semua orang yang duduk di DPR adalah semata wakil partai politik, bukan wakil umat atau pun wakil rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar